OTONOMI DAERAH DAN KORUPSI

Dikutip dari situs antikorupsi.org, data dari KPK menujukkan bahwa sejak 2004 hingga januari 2022, sudah terdapat 22 Gubernur dan 148 bupati/walikota yang terjerat kasus korupsi yang ditangani oleh KPK. Data ini belum temasuk kasus korupsi yang dtangani oleh kejaksaan dan kepolisian. Data ICW pada tahun 2017 menunjukkan kerugian negara akibat korupsi kepala daerah mencapai lebih dari 1 triliun (1). Hal ini menunjukkan bahwa angka korupsi di daerah masih tinggi. Otonomi daerah justru membuka lebar pintu korupsi di tingkat daerah yang dulunya di masa orde baru, korupsi lebih banyak dilakukan oleh elit-elit di pusat.


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gilang Satryo Wicaksono & Tri Jatmiko Wahyu Prabowo (2022) tentang Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Korupsi pada Pemerintah Daerah di Jawa Tengah menemukan bahwa menemukan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap perilaku korupsi kepala daerah yaitu faktor keweangan dalam penentuan belanja modal dan faktor opini audit yang berpengaruh negatif (2). Penelitian lain yang dilakukan oleh Zefri Maulana (2016) menemukan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi kosupsi adalah perilaku individu, kelembagaan pemerintah, penerapan perundang-undangan dan pengawasan (3). Oleh karena itu, untuk meminimalisir kasus korupsi di daerah, perlu dilakukan tindakan pencegahan dan tindakan tegas bagi pelaku korupsi serta pengawasan yang ketat dalam penggunaan anggaran dan menciptakan sistem pemerintahan yang bersih dan transparan.

1. Tidakan Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan Pendidikan anti korupsi kepada masyarakat. Pendidikan dapat dilakukan sejak dini, yaitu pada masa sekolah. Para siswa dan mahasiswa harus dibekali dengan Pendidikan dan budaya anti korupsi baik di sekolah dan di perguruan tinggi. Sejak dini, anak sekolah harus dibudayakan untuk jujur dan berintegritas, sehingga dapat dibawa hingga dewasa dan menjadi pemimpin di masa yang akan datang.

2. Tidakan tegas bagi pelaku (hukum dan sosial)

Tindakan tegas bagi pelaku korupsi akan menimbulkan efek jera, baik bagi pelaku maupun bagi para pemegang kekuasaan. Pemberian hukuman berat dapat mengendalikan keinginan para pejabat untuk bertindak korupsi. Sanksi sosial dapat dilakukan dengan tidak memberikan ruang bagi pelaku korupsi untuk berperan dalam masarakat seperti menjadi pemimpin atau pemegang jabatan di pemerintahan.

3. Pengawasan

Fungsi pengawasan dapat dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat. Masyarakat harus berperan aktif dalam pengawasan yaitu ketika melihat perilaku korupsi, bisa segera melapor kepada pihak berwenang.

4. Menciptakan sistem pemerintahan yang bersih dan transparan

Penggunaan teknologi informasi dalam sistem pemerintahan dapat membantu dalam control terhadap penggunaan anggaran di daerah. Sistem ang dapat digunakan adalah e-budgeting, e-katalog dll, yang menjadikan transparansi anggarang oleh pemerintah. 


Pustaka

  1. Prihandini W. Korupsi APBD: Sebuah Meta Analisis. Deepublish; 2020. 
  2. Wicaksono GS, Jatmiko T, Prabowo W. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Korupsi pada Pemerintah Daerah di Jawa Tengah Menggunakan Teori Fraud Triangle. 2022;6:1016–28. 
  3. Maulana Z. Persepsi Masyarakat terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi Korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah ( APBD ) di Aceh Utara. 2016;5(2):573–81. 


Komentar